BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Seseorang yang beraqidah
dengan benar, niscaya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula
sebaliknya, jika aqidah salah dan melenceng maka akhlaknya pun akan tidak
benar. Aqidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinannya
terhadap Allah juga lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui Sang
Penciptanya dengan benar, niscaya ia akan dengan mudah berperilaku baik
sebagaimana perintah Allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh atau bahkan
meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkan-Nya.
Adapun yang dapat
menyempurnakan aqidah yang benar terhadap Allah adalah beraqidah dengan benar
terhadap malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para
Rasul dan percaya kepada Rasul-rasul utusan-Nya yang mempunyai sifat jujur dan
amanah dalam menyampaikan risalah Tuhan Mereka. Keyakinan terhadap Allah,
Malaikat, Kitab, dan para Rasul-rasul-Nya berserta syariat yang mereka bawa
tidak akan dapat mencapai kesempurnaan kecuali jika disertai dengan keyakinan
akan adanya hari Ahkir dan kejadian-kejadian yang menggiringnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:
1.
Bagaimana pengertian Aqidah Islam?
2.
Apa saja ruang lingkup Aqidah Islam?
3.
Apa sumber Aqidah Islam?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian Aqidah Islam.
2.
Untuk mengetahui ruang lingkup Aqidah Islam?
3.
Untuk mengertahui sumber Aqidah Islam.
BAB II
MATERI POKOK
AJARAN ISLAM: AQIDAH
A. Pengertian
Aqidah
Kata "‘aqidah" diambil dari kata
dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth (ikatan), al-Ibraam
(pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi
kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk
(pengokohan), al-muraashah (erat/rapat) dan al-itsbaatu
(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan)
dan al-jazmu (penetapan).[1]
"Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan
kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata
kerja: "‘Aqadahu" "Ya'qiduhu" (mengikatnya), "
‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan "‘Uqdatun Nikah"
(ikatan pernikahan).
Seperti dalam firman
Allah Ta'ala,
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ
بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ
الْأَيْمَانَ
Artinya:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja ..." (Al-Maa-idah: 89).[2]
Aqidah artinya
ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang
pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan
perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk
jamak dari aqidah adalah aqaid. Jadi kesimpulannya, apa yang
telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar
ataupun salah.
Sedangkan Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi) yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi
tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang
tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan. Dengan
kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada
orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak
menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada tingkat
keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena
orang itu mengikat hatinya di atas hal tersebut.
Menurut M Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan
aqidah menurut ketentuan bahasa (bahasa arab) ialah sesuatu yang dipegang teguh
dan terhunjam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari padanya.[3]
Adapun aqidah menurut Syaikh Mahmoud
Syaltout adalah segi teoritis yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari
segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh
dicampuri oleh syakwasangka dan tidak dipengaruhi oleh keragu-raguan. Aqidah
atau keyakinan adalah suatu nilai yang paling asasi dan prinsipil bagi manusia,
sama halnya dengan nilai dirinya sendiri, bahkan melebihinya. Sedangkan Syekh
Hasan Al-Banna menyatakan aqidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati
membenarkannya sehingga menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan
bersih dari kebimbangan dan keragu-raguan.[4]
Aqidah merupakan
aspek yang harus dimiliki lebih dahulu sebelum yang Iain‐lain. Aqidah itu
harus bulat dan penuh, tidak ada keraguan dan kesamaran di dalamnya. Aqidah
yang benar adalah Aqidah yang sesuai dengan ketetapan keterangan‐keterangan yang jelas dan tegas yang terdapat dalam Alquran dan hadits.
Aqidah ini merupakan hal yang utama dan pertama yang harus ditanamkan.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa aqidah
adalah pengikat yang menjadi keyakinan yang dianut oleh orang yang beragama
Islam.
B. Ruang
Lingkup Aqidah
Seperti yang sudah disimpulkan di atas bahwa
aqidah adalah pengikat yang menjadi keyakinan yang dianut, maka ruang lingkup
aqidah juga berkenaan dengan keyakinan. Keyakinan itu sendiri disebut dengan
iman. Rukun Iman adalah hal wajib yg mesti diimani/diyakini oleh
seseorang yang mengaku beragama Islam. Tidak meyakini salah satu dari rukun
iman ini, maka keimanan seorang muslim akan diragukan. Adapun ruang lingkup aqidah di antaranya adalah:
1.
Iman
kepada Allah SWT
Meliputi upaya meyakini eksistensi Allah
SWT dengan mempelajari dan mengenal-Nya melalui; dzat, asma’, sifat
(karakteristik) dan af’al (perbuatan-Nya). Titik tekan yang paling utama
adalah pada sifat-Nya yang berupa karakteristik Allah SWT. Dari sifat ini umat
Islam akan dengan mudah mengidentifikasikan sesuatu itu tergolong sebagai
khaliq (pencipta) atau makhluq (yang dicipta). Dalam hal ini pembahasan akan
dipisah garis dikotomi yang tegas antara sifat wajib dan sifat yang mustahil
bagi Allah SWT. Di samping
mengetahui dan meyakini sifat yang wajib dan sifat yang mustahil bagi Allah
yang perlu diketahui dan diyakini agar menambah keimanan megenai adanya Allah
adalah mengenai nama-nama Allah yang baik yang berjumlah 99 yang dikenal dengan
Al-Asma Al-Husna.
Adapun sifat yang wajib dan mustahil bagi
Allah adalah sebagai berikut:[5]
NO
|
SIFAT WAJIB
|
ARTINYA
|
1
|
Wujud
|
Ada
|
2
|
Qidam
|
Dahulu
|
3
|
Baqa'
|
Kekal
|
4
|
Mukhalafatuhu lil hawadits
|
Berbeda dengan ciptaan-Nya
|
5
|
Qiyamuhu binafsihi
|
Berdiri dengan sendirinya
|
6
|
Wahdaniyyah
|
Esa, tunggal, satu
|
7
|
Qudrah
|
Berkuasa
|
8
|
Iradah
|
Berkehendak
|
9
|
Ilmu
|
Mengetahui
|
10
|
Hayat
|
Hidup
|
11
|
Sam'un
|
Mendengar
|
12
|
Basar
|
Melihat
|
13
|
Kalam
|
Berkata
|
14
|
Qadirun
|
Yang Berkuasa
|
15
|
Muridun
|
Yang Berkehendak
|
16
|
Alimun
|
Yang Mengetahui
|
17
|
Hayyun
|
Yang Hidup
|
18
|
Sami'un
|
Yang Mendengar
|
19
|
Basirun
|
Yang Melihat
|
20
|
Mutakallimun
|
Yang Berbicara
|
Sedangkan sifat mustahil bagi Allah SWT adalah:
NO
|
SIFAT MUSTAHIL
|
ARTINYA
|
1
|
Adam
|
Tidak ada
|
2
|
Huduus
|
Baru
|
3
|
Fana
|
Rusak
|
4
|
Mumatsalatuhu lil hawadits
|
Sama dengan ciptaan-Nya
|
5
|
Ihtiyaju lighairihi
|
Membutuhkan yang lain
|
6
|
Ta'addud
|
Berbilang
|
7
|
Ajzun
|
Lemah
|
8
|
Karahah
|
Terpaksa
|
9
|
Jahlun
|
Bodoh
|
10
|
Mautun
|
Mati
|
11
|
Samamum
|
Tuli
|
12
|
Umyun
|
Buta
|
13
|
Bukmun
|
Bisu
|
14
|
Ajizun
|
Yang maha lemah
|
15
|
Mukrahun
|
Yang maha terpaksa
|
16
|
Jahilun
|
Yang maha bodoh
|
17
|
Mayyitun
|
Yang mati
|
18
|
Ashamma
|
Yang maha tuli
|
19
|
A'maa
|
Yang maha buta
|
20
|
Abkama
|
Yang maha bisu
|
2.
Iman kepada Malaikat.
Pembahasan
ini meliputi defenisi malaikat dan ragam tugas-tugasnya. Pembahasan juga akan
melingkupi diskursus mengenai kemungkinan manusia untuk melihat wujud malaikat. Firman Allah mengenai adanya malaikat
terdapat dalam surat Al-Anbiya ayat 26-27:
(#qä9$s%ur xsªB$# ß`»oH÷q§9$# #V$s!ur 3 ¼çmoY»ysö7ß 4 ö@t/ ×$t6Ïã cqãBtõ3B ÇËÏÈ w ¼çmtRqà)Î7ó¡o ÉAöqs)ø9$$Î/ Nèdur ¾ÍnÌøBr'Î/ cqè=yJ÷èt ÇËÐÈ
Artinya: “Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah Telah
mengambil (mempunyai) anak", Maha Suci Allah. Sebenarnya
(malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan[6],
Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan
perintah-perintahNya.[7]
Mereka
diciptakan Allah SWT,
maka mereka beribadah kepada-Nya dan mematuhi segala perintah-Nya. Firman
Allah SWT,
yang artinya: ” …Dan malaikat-malaikat yang disisi-Nya mereka tidak
bersikap angkuh untuk beribadah kepada-Nyadan tiada (pula) merasa letih. Mereka
selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. “ (QS. Al-Anbiya:
19-20).
Sebenarnya jumlah malaikat itu banyak dan
jika kita menghitungnya niscaya tidak akan dapat terhitung, akan tetapi ada
sepuluh malaikat serta tugas-tugasnya yang wajib kita imani dan kita ketahui,
yaitu:
1.
Jibril
Adalah malaikat yang diberikan amanat untuk menyampaikan wahyu, turun
membawa petunjuk kepada Rasul agar disampaikan kepada umat. Allah Ta’ala
berfirman,
“Dan
sungguh dia (Muhammad) telah melihatnya (Jibril) di ufuk yang terang” (QS. At
Takwiir : 23)
Rasulullah
ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,
“Aku
melihatnya (Jibril) turun dari langit, tubuhnya yang besar menutupi antara
langit sampai bumi” (HR. Muslim no. 177, dari ‘Aisyah radhiyallaHu ‘anHa)
Abdullah
bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW melihat jibril
memiliki enam ratus sayap (HR. Al-Bukhari).
2.
Mikail
Dialah yang diserahi tugas mengatur hujan dan tumbuh-tumbuhan dimana
semua rizki di dunia ini berkaitan erat dengan keduanya. Terdapat penyebutan Jibril
dan Mika-il secara bersamaan dalam satu ayat, Allah Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa
menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan
Mika-il, maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah
: 98)
3.
Israfil
Dia diserahi tugas meniup sangkakala atas perintah Rabb-nya dengan tiga
kali tiupan. Pertama adalah tiupan keterkejutan, tiupan kedua adalah tiupan
kematian dan tiupan ketiga adalah tiupan kebangkitan.
4.
‘Izra-il
Penamaannya dengan malaikat maut tidak disebutkan dengan jelas di dalam
al Qur’an maupun hadits-hadits yang shahih. Adapun penamaan dirinya dengan ‘Izrail
terdapat di sebagian atsar.
5.
Munkar dan Nakir
Terdapat penyebutan dengan mereka di dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,
“Tatkala
orang yang mati telah dikubur, datanglah kepadanya dua malaikat yang hitam
kebiruan, salah satu diantara keduanya dinamakan Munkar dan yang lainnya
dinamakan Nakir” (HR. at Tirmidzi, dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shahiih
Sunan at Tirmidzi)
6.
Raqib dan ‘Atid
Sebagian ulama menjelaskan bahwa diantara malaikat ada yang benama
Raqib dan ‘Atid. Allah Ta’ala berfirman,
“Maa
yalfizhu min qaulin illaa ladayHi raqiibun ‘atiidun” yang artinya “Tidak suatu
ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir” (QS. Qaaf : 18)
7.
Malik
Dia
adalah penjaga neraka. Allah Ta’ala berfirman,
“Mereka
berseru, ‘Hai Malik, biarlah Rabb-mu membunuh kami saja’. Dia menjawab, ‘Kamu
akan tetap tinggal (di Neraka ini)’. Sesungguhnya Kami telah membawa kebenaran
kepada kamu tetapi kebanyakan diantara kamu benci kepada kebenaran itu” (QS. Az
Zukruf : 77-78)
8.
Ridwan
Dia adalah penjaga Surga. Ada sebagian hadits yang dengan jelas
menyebutkan dirinya.[8]
3.
Iman kepada kitab-kitab Allah SWT.
Pembahasan kitab suci adalah suatu wacana
interkoneksi dengan sejumlah ilmu-ilmu lainnya, ilmu sejarah misalnya. Dengan
menelusuri keimanan kepada kitab, seorang muslim akan diajak turut merunut
kenyataan bahwa Al-Qur’an adalah kitab pamungkas yang paling agung. Ia adalah
mukjizat terakbar dalam sejarah literatur sakral dunia.
4.
Iman kepada para Rasul.
Guna
menyakini eksistensi para Rasul umat Islam dapat merumuskannya dengan terlebih
dahulu mengetahui karakteristik (sifat) sebagai kualifiasi Rasul itu sendiri.
Hal ini meliputi sifat wajib, sifat mustahil dan sifat ja’iznya.
5.
Iman kepada hari akhir atau kiamat.
Hari
akhir atau kiamat yang dimaksud adalah hancurnya seluruh alam semesta di bawah
titah Allah SWT. Pembahasan hari kiamat juga akan mencakup tentang fase-fase
penting yang akan dialami oleh seluruh umat manusia. Fase-fase tersebut antara
lain adalah adanya yaumil ba’ats (hari kebangkitan setelah kematian masal umat
manusia), yaumil hisab (hari perhitungan amal), penitian atas jalur shirat
(jembatan yang membentang di antara syurga dengan terminal perhitungan amal,
dimana di bawah bentangan tersebut tergelarlah samudera neraka). Pembahasan hari kiamat dan alam
setelahnya adalah wacana luas yang meliputi pembahasan-pembahasan tingkatan
neraka dan syurga, nasib kaum kafirin dan fasiqin serta umat yang selamat
mencapai syurga. Pada sisi pendahuluan, umat Islam biasanya juga
akan diajak guna turut mengenal pertanda-pertanda awal ketika hari Kiamat akan
datang. Hal ini penting ditegaskan, sebab bagaimanapun umat Nabi Muhammad
adalah umat akhir zaman yang paling dekat dalam menyambut kehancuran semesta.
6.
Iman
kepada Qada dan qadhar.
Selain
membahas permasalahan yang berkaitan dengan rukun iman, aqidah Islamiyyah juga
mencakup pembahasan peristiwa-peristiwa penting yang bersinggungan dengan
keimanan seseorang. Artinya bahwa keimanan seseorang akan batal ketika
mengingkari hal-hal tersebut.
Pengingkaran yang berpotensi membatalkan iman seseorang adalah mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad SAW. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram atau Mekkah menuju Masjidil Aqsa di Palestina. Dari bumi Palestina Nabi Muhammad SAW diperjalankan menuju Sidhratul Muntaha atau Arasy guna beraudensi dengan Allah SWT. Puncaknya adalah misi pensyari’atan ibadah sholat lima waktu bagi umat Islam hingga akhir zaman.
Wacana lainnya yang menjadi ruang pembahasan adalah masalah kemampuan manusia untuk melihat langsung kepada Allah SWT kelak di syurga. Hal ini adalah tema krusial dan kontroversial yang menjadi perdebatan kalangan Ulama Kalam selama berabad-abad lamanya. Setiap sekte teologi yang berkembang dalam Islam memiliki pendapat berbeda menyikapi masalah ini. Pembahasan pokok lainnya di dalam aqidah Islamiyyah adalah permasalah Mujtahid dan Mukhalid. Mujtahid menurut Syaikh Thahir bin Saleh al-Jazairi adalah adalah orang yang menguasai sebagian besar kaidah syari’at dan nash-nashnya . Sehingga seorang Mujtahid memungkinkan guna menggali dan menemukan maksud-maksud pensyari’atan suatu hukum agama. Meski ini merupakan wilayah ilmu fikih, namun menjadi hal yang integral di dalam ranah Aqidah. Mujtahid adalah sosok sentral yang paling bertanggungjawab menafsirkan dan menanggung akibat atas keputusan suatu konsep hukum yang digagasnya. Sedangkan Mukhalid adalah masyarakat umum umat Islam yang mengikuti pendapat Mujtahid. Meski demikian Mukhalid dibagi menjadi beberapa klasifikasi, dari yang paling awam hingga yang telah mapan pemikirannya. Dalam hal ini selama belum mencapai derajat Mujtahid.
Pengingkaran yang berpotensi membatalkan iman seseorang adalah mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad SAW. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram atau Mekkah menuju Masjidil Aqsa di Palestina. Dari bumi Palestina Nabi Muhammad SAW diperjalankan menuju Sidhratul Muntaha atau Arasy guna beraudensi dengan Allah SWT. Puncaknya adalah misi pensyari’atan ibadah sholat lima waktu bagi umat Islam hingga akhir zaman.
Wacana lainnya yang menjadi ruang pembahasan adalah masalah kemampuan manusia untuk melihat langsung kepada Allah SWT kelak di syurga. Hal ini adalah tema krusial dan kontroversial yang menjadi perdebatan kalangan Ulama Kalam selama berabad-abad lamanya. Setiap sekte teologi yang berkembang dalam Islam memiliki pendapat berbeda menyikapi masalah ini. Pembahasan pokok lainnya di dalam aqidah Islamiyyah adalah permasalah Mujtahid dan Mukhalid. Mujtahid menurut Syaikh Thahir bin Saleh al-Jazairi adalah adalah orang yang menguasai sebagian besar kaidah syari’at dan nash-nashnya . Sehingga seorang Mujtahid memungkinkan guna menggali dan menemukan maksud-maksud pensyari’atan suatu hukum agama. Meski ini merupakan wilayah ilmu fikih, namun menjadi hal yang integral di dalam ranah Aqidah. Mujtahid adalah sosok sentral yang paling bertanggungjawab menafsirkan dan menanggung akibat atas keputusan suatu konsep hukum yang digagasnya. Sedangkan Mukhalid adalah masyarakat umum umat Islam yang mengikuti pendapat Mujtahid. Meski demikian Mukhalid dibagi menjadi beberapa klasifikasi, dari yang paling awam hingga yang telah mapan pemikirannya. Dalam hal ini selama belum mencapai derajat Mujtahid.
C. Sumber Aqidah
Islam
Ada tiga referensi aqidah
Islam yang mana seluruh muatan ilmu Aqidah dan semua metode berasal dan
bersumber dari sana, yaitu ; Alquran, Alhadits, dan akal sehat. Berikut akan
diperjelas :
1. Al-Qur’an
Secara etimologi atau lughat
menurut Subhi al-Shalih Qur’an berarti bacaan berasal dari kata qara’a. Kata al-Qur’an merupakan bentuk
masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru
(sesuatu yang dibaca). Maksudnya, al-Qur’an itu adalah bacaan yang dibaca.
Penyebutan nama al-Qur’an memang sangat tepat karena fakta sejarah maupun bukti
empiris selalu menunjukkan bahwa di seluruh jagad raya ini tidak ada satu
bacaanpun yang jumlah pembacanya lebih banyak dari pembaca al-Qur’an.
Pembacanya bukan hanya dari kalangan muslimin saja tetapi juga non muslim
terutama kaum orientalis.[9]
Ada pula yang menyatakan bahwa
al-Qur’an adalah isim alam atau nama yang tidak diambil dari kata apapun.
Menurut as-Safi’i, kata qur’an yang kemudian dima’rifatkan dengan alif lam, tidak diambil dari kata
apapun, dia adalah nama khusus yang diberikan oleh Allah untuk nama kitabNya
yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagaimana Zabur, Taurat dan Injil
kepada Daud, Musa dan Isa.[10]
Dalil tentang al-Qur’an adalah
nama khusus yang diberikan oleh Allah dapat ditemui dalam beberapa ayat
al-Qur’an itu sendiri, misalnya:
¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè%
Artinya: ”Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami
Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah
(75): 17-18).
Alquran yang mulia
adalah sumber pertama seluruh kandungan syariat Islam, baik yang bersifat pokok
maupun cabang. Semua sumber syariat Islam yang lain adalah sumber yang
sepenuhnya merujuk kepada alquran. Selain bahwa ia adalah Kalam Allah, juga
keabsahan dan kemurnian seluruh lafaz dan makna Alquran terjaga sepanjang masa
yang tak pernah diragukan oleh ummat ini.
Seluruh pernyataan Allah dapat dimengerti oleh akal sehat, namun karena keterbatasan dan kelemahan
manusia berkenaan dengan niat, akal, dan penerapan metode penafsiran dan pengambilan
dalil, kesalahan sangat mungkin dilakukan. Oleh karena itu para ulama telah
menyusun sejumlah prinsip dan kaidah yang dapat menghindarkan dari berbagai
bentuk kesalahan dalam memahami Alquran, berikut kami sarikan prinsip yang
paling utama dan terpenting :
ü Seseorang yang belum menjumpai jawaban yang dicarinya
pertama kali ia harus menafsirkan Alquran dengan Alquran sendiri, sebab
begitulah karakter Alquran ; bagian yang satu menjelaskan bagian yang lain.
ü Apabila penjelasan yang dicari tidak terdapat dalam
Alquran maka harus dikembalikan kepada Sunnah Rasulullah SAW, sebab beliaulah
yang paling mengerti risalah yang disampaikannya.
ü Apabila tidak ditemukan penjelasan yang dicari maka
harus kembali kepada penafsiran para sahabat, sebab merekalah saksi dari
turunnya wahyu dan murid‐murid pertama dan yang paling dekat dengan
Rasulullah SAW.
ü Jika dari kalangan sahabat tidak didapati
penjelasannya maka harus mencarinya dari penjelasan para tabiin, karena mereka
adalah murid‐murid para sahabat. Apabila dari merekapun tidak
ditemukan jawabannya maka selanjutnya harus mengacu kepada bahasa arab yang
dengan bahasa itulah Allah menurunkan Alquran, kita dapat mengetahui makna ayat‐ayat Alquran dengan mengenali makna kata‐katanya dalam
bahasa arab, bentuk penggunaan dari pola‐pola pengungkapannya, sesuai firmanya (QS Yusuf;2)
oleh karena itu diwajibkan mempelajari bahasa Arab bagi kaum muslimin yang
ingin berinteraksi dengan Alquran secara dalam. [11]
2. Hadits.
Sumber
referensi kedua agama Islam adalah Al-hadits. Demikian pula Aqidah, ia merujuk dan mengambil kandungan ilmunya
dari sini. Ini sesuai Firman Allah :
“Dan tidaklah patut bagi
laki‐laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul‐Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul‐Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.”(QS Al Ahzab:36 ),
“Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.”(QS An‐Nisa:65),
“......apa yang diberikan
Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”(QS Al-Hasyr:7
).
Komentar yang sangat bagus tentang ini layak kita simak, dari DR. Ibrahim
Muhammad bin Abdullah Al‐Buraikan; “Sunnah Rasulullah SAW adalah penjelasan
dan tafsir yang dapat menyingkap rahasia muatan dan hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Ia
menafsirkan ayat‐ayat yang masih bersifat umum dan menjelaskan ayat‐ayat yang masih samar . semua sunnah yang datang dari Rasulullah SAW adalah
upaya menyampaikan Alquran. Maka ia sepenuhnya kebenaran dan kejujuran, bahkan ia
merupakan kalam terfasih setelah Kalam Allah.”[12]
Keotentikan sumber ini terjaga dengan baik oleh metode dan kritik sanad,
keistimewaan ini masih terlestarikan dengan sempurna sampai sekarang. Ini merupakan
keistimewaan yang tidak terdapat pada agama manapun.
3. Akal
Akal
disebut sebagai sumber referensi Islam dalam pengertian yang sedikit berbeda.
Akal lebih mirip sebagai antena bagi radio, dia dibutuhkan sebagai penangkap
sinyal dan penyebar sinyal. Stasiun radio tidak mampu kita dengar siarannya
tanpa bantuan antena. Demikian juga dengan makna-makna hebat Alquran dan Alhadits tidak mungkin dapat dimunculkan tanpa menggunakan
Akal sehat.
Syariat
Islam begitu memuliakan akal ; Allah SWT hanya menyampaikan Kalam‐Nya kepada orang-orang yang berakal, Akal merupakan syarat seorang manusia
menerima taklif (beban hukum) oleh karenanya orang gila bebas dari aturan
hukum, Allah mencela orang yang tidak menggunakan akalnya dengan benar, begitu
banyak perintah Allah agar manusia menggunakan Akalnya dengan redaksi ; Mudah‐mudahan kamu berpikir, apakah kamu tidak berakal?, Apakah mereka tidak mentadaburi
isi kandungan Al-Qur’an? Dan banyak yang lain serupa itu. Semuanya merupakan
bukti kemuliaan akal dalam pandangan Allah. Ada dua kelompok manusia yang
begitu ekstrim dalam menyikapi akal ini, ada yang memandangnya sebagai satu‐satunya dasar dan sumber kebenaran sehingga mereka mengabaikan aspek wahyu.
Kelompok satunya terlalu mengabaikan akal sehingga menganggap akal sama sekali
bukan alat, dan dasar dari mencari kebenaran. Syariat Islam mendudukan akal
dalam posisi yang tepat dan seimbang, yakni menjadikannya alat untuk mencari
isi dan makna Alquran dan Alhadits, dan meletakkan akal sebagai potensi positif
yang dipandu oleh Alquran dan Alhadits, produk pikiran yang mengandung
kebenaran dikonfirmasi sedangkan yang mengandung kekeliruan diluruskan.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aqidah Islamiyyah adalah
suatu cabang keilmuan terapan yang wajib diketahui dan dipahami oleh seluruh
umat Islam. Sebagai pengajaran akan pokok keimanan yang membentuk mentalitas
dan keyakinan, maka aqidah Islamiyyah akan berpengaruh menggerakkan seseorang
untuk lebih bersemangat di dalam upaya mengisi hidupnya sebagai bekal menempuh
perjalanan setelah masa kematiannya.
Di dalam Aqidah Islam
diajari tentang Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Iman kepada
Kitab-Kitab Allah, Iman kepada Rasul Allah, Iman kepada Qada dan Qadar dan Iman
kepada hari Akhir.
Sedangkan sumber ajaran
Aqidah Islam meliputi Al-Qur’an, Hadits dan Akal.
B. Saran
Semoga dengan makalah ini
dapat menambah pengetahuan tentang Aqidah Islamiyah bagi semua pembaca dan dapat
menerapkan dalam akhlak sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bidaayah wan Nihaayah I/45, (2008), Nama-Nama
Malaikat yang Harus Diimani, terbit tanggal 21 November 2008, Jakarta:
Majalah Sabili.
Ar-Rumi Fhad bin Abdurrahman, (1996), Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi
Press.
Depag RI, (2007), Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Syaamil Al-Qur’an.
http://seputarduniaanak.blogspot.com/2010/11/sifat-wajib-bagi-allah-dan-sifat.html. diakses tanggal 1 April
2011.
Hudhari Bik, (2010), Terjemah Tarikh
A-Tasyri’ Al-Islam, Jakarta: Darul Ikhya’.
Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al‐Buraikan,
http://kumpulan-makalah.blogspot.com/pemikiran-aqidah-islam/, di akses
tanggal 23 Maret 2011.
Mudzakkir, (2005), Menjelajah
Islam Kaffah, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhammad
Amin Suma, (2000), Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an I, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, (1999), Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
[1]Hudhari
Bik, Terjemah Tarikh A-Tasyri’ Al-Islam, (Jakarta: Darul Ikhya’, 2010),
hal. 12.
[2]Depag
RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Syaamil Al-Qur’an, 2007), hal. 314.
[3]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu
Fiqih, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1999), hal. 210.
[4]Mudzakkir,
Menjelajah Islam Kaffah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 124.
[5]http://seputarduniaanak.blogspot.com/2010/11/sifat-wajib-bagi-allah-dan-sifat.html. diakses tanggal 1 April 2011.
[6]ayat Ini diturunkan untuk membantah tuduhan-tuduhan
orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa malaikat-malaikat itu anak Allah.
[7]Depag
RI, op.cit., hal. 419.
[8]Al-Bidaayah
wan Nihaayah I/45, Nama-Nama Malaikat yang Harus Diimani, terbit tanggal
21 November 2008, (Jakarta: Majalah Sabili, 2008), hal. 34.
[9]Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal.
21.
[10]Ibid., hal. 19.
[11]Ar-Rumi
Fhad bin Abdurrahman, Ulumul Qur’an
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), hal. 119-120.
[12]Ibrahim Muhammad
bin Abdullah Al‐Buraikan, http://kumpulan-makalah.blogspot.com/pemikiran-aqidah-islam/, di
akses tanggal 23 Maret 2011.
[13]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar